(1 Pilih)

Sejarah Sekolah

September 10, 2016

Sekolah luar biasa (SLB) Dena Upakara terletak di jalan Mangli no. 5 Wonosobo, yang sebelumnya menyewa di Sumberan Barat. Karena muridnya bertambah banyak maka para suster PMY membangun gedung baru. Nama “Dena-Upakara” berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti daina atau dena, artinya yang hina, sedangkan upakara artinya pelihara. Maka “Dena-Upakara” berarti “yang hina dipelihara, diasuh, diperhatikan, dan dirawat.” Nama tersebut dipilih oleh ahli bahasa jawa kuno yaitu Pastor J. Zoetmulder SJ. Karena lembaga ini didirikan di Pulau Jawa, maka Bahasa Jawalah yang digunakan untuk memberi nama lembaga. Seusai dengan namanya yang bernafaskan bahasa dan kebudayaan Jawa, sejak semula pendiri mengarahkan tujuan lembaga untuk mengembangkan pendidikan bagi pribumi Indonesia yang dianggap hina karena cacat.

Pemrakarsa “Dena-Upakara” Mgr. A. Hermus adalah seorang pastor yang diangkat menjadi Direktur Pendidikan Anak Tunarungu St. Michielsgestel, di Nederland, pada tanggal 20 Juli 1909 – 3 Oktober 1940. Sebelum menjadi direktur, beliau telah bekerja sebagai guru di lembaga tersebut sejak tahun 1902. Romo Hermus berpikir “jika anak orang kaya memiliki kekurangan, bisa menyekolahkan anak mereka dengan anaknya. Lalu bagaimana dengan orang-orang miskin di negeri yang sedang berkembang memiliki nasib seperti mereka. Apakah tidak ada kesempatan untuk mendidik anaknya menjadi pribadi yang lebih mandiri.”

Pemikiran itulah yang mencetuskan ia untuk membantu mengembangkan pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia. Cita-cita tersebut kemudian dituangkan secara konkret dalam surat permohonan untuk mendirikan Lembaga Anak Tunarungu di Indonesia kepada Vikaris Apostolik di batavia, Mgr. Van Velsen, dan kepada pastor Van Ryckevorse I SJ, pendiri sekolah – sekolah dasar bagi Bumi Putera Indonesia di jawa Tengah.

Berdasarkan perundingan antara pimpinan St. Michielsgestel dan Dewan Pimpinan Konggregasi Suster Puteri Maria dan Yosef yang berpusat Choorstraat 7’5 Hetogenbosch, Nederland, maka konggregasi Suster PMY akan memulai karya cinta kasih di Hindia Belanda. 

Pemimpin Umum Konggresi PMY pada saat itu, Moeder M. Venantia Van Maanem, menugaskan lima orang Suster (Sr.) untuk mengawali karya baru di Jawa Tengah. Kelima serangkai perintis Lembaga Pendidikan Anak Bisu Tuli Dena Upakara tersebut yaitu Sr. Augustina, Sr. Bonaventura, Sr. Canesia, Sr. Geertruida, dan Sr. Maria Alacoque. Mereka melakukan perjalanan selama ± 30-40 hari (tidak diketahui secara pasti berapa hari perjalanan tersebut karena tidak ada bukti fisik, hang cerita orang yang pernah bersama dengan mereka) dari Netherlands sampai Batavia, setelah dirasa cukup beristirahat di Batavia perjalanan dilanjutkan lagi ke Purwakarta. Sesampainya disana mereka mencari tempat untuk dijadikan Pendidikan bagi anak Tuna Rungu, hingga diputuskanlah akan mendirikan di Wonosobo dengan pertimbangan tempatnya sejuk seperti di Netherlands.

Peletakan batu pertama terjadi pada tanggal 15 januari 1938, mereka resmi memulai menerima murid pada tanggal 15 maret 1938. Pada waktu itu murid Laki-Laki dan perempuan masih digabung, karena merasa jika dicampur terus-menerus tidak bagus untuk perkembangan mereka. Maka sejak tahun 1955 murid Laki-Laki dan perempuan dipisah, dengan pembagian murid perempuan tetap di SLB Dena Upakara diasuh oleh para Suster dan murid Laki-Laki dibuatkan gedung baru di sebelah barat Statiun Kereta Api Wonosobo dengan nama SLB Don Bosco diasuh oleh para Budder.

Pada saat jepang mengekspansi Indonesia tahun 1942, datang sebagai saudara tua, orang-orang Belanda ditangkap termasuk kelima Suster tersebut. Sr. Canesia karena berasal dari Jerman di deportasi ke negaranya kembali. Sedangkan ke-4 Suster lainnya di penjara di Ambarawa, disebabkan tempat penampungan para tahanan yang tidak layak Sr. Maria Alacoque meninggal dunia dan makamnya pada tahun 2000-an dibongkar kembali untuk di pindah ke Wonosobo yang sebelumnya berada di Ambarawa.

Selama penjajahan Jepang, SLB Dena Upakara tetap aktif mengajar tapi ditangan para Suster Indonesia, meskipun kegiatan belajar mengajar tidak kondusif karena SLB Dena Upakara juga dijadikan markas tentara PETA (Pembela Tanah Air). Setelah Indonesia merdeka SLB Dena Upakara masih tetap dijadikan markas tentara Indonesia. Pada saat Bung Karno kesekian kalinya berkunjung ke hotel Merdeka (kini Krisna), ada Suster yang melapor tidak bisa mengajar dengan kondusif karena sekolah masih dipakai tentara. Menanggapi keluhan Suster tersebut lalu Bung Karno saat itu juga meminta para tentara keluar dari sekolahan.

SLB/B Dena-Upakara

Mudahkanlah, jangan dipersulit!

Cari

Pengunjung

044838
Hari ini
Minggu Lalu
Bulan lalu
Semua
128
44026
2124
44838

Your IP: 18.97.14.85
2024-12-14 23:03